Sabtu, 02 Juni 2012

Berikan analisis anda mengapa pariwisata memerlukan dasar UU untuk melakukan kegiatannya?


Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh fokus perhatian yang diberikan kepada
sektor pariwisata sebagai aktivitas di bidang ekonomi. Di samping itu, di Indonesia, pembangunan sektor
hukum masih belum dilihat sebagai media untuk mengubah tatanan kehidupan masyarakat atau yang
dikenal dengan istilah “law as a tool of social engineering”.


Pariwisata sebenarnya tidak hanya berkaitan dengan masalah-masalah yang murni berada pada
ranah ekonomi. Masalah-masalah sosial, budaya dan perlindungan lingkungan hidup, juga menjadi bagian
dari kepariwisataan karena pada intinya aktivitas ini mendatangkan orang yang berasal dari latar
belakang status sosial dan kebudayaan yang (mungkin sangat) berbeda dan mereka mengkonsumsi
sumber daya (tak terbarukan) di destinasi pariwisata. Bukan hanya itu saja, namun dapat dikatakan sektor pariwisata menyentuh seluruh bidang kehidupan masyarakat, dengan potensi persoalannya masingmasing. Oleh karena itu, sangat tepat ilustrasi yang diungkapkan sebagai berikut: “Tourism is like fire. It can
cook your food or burn your house down” .

 Hukum pariwisata memiliki ruang lingkup yang jauh lebih luas
dan pada intinya adalah suatu gabungan dari segala macam peraturan perundang-undangan yang relevan,
sesuai dengan definisi “wisatawan” itu sendiri. United Nations World Tourism Organization (UNWTO)
mendefinisikan:
“A visitor is a traveller taking a trip to a main destination outside his/her usual environment, for less than a
year, for any main purpose (business, leisure or other personal purpose) other than to be employed by a resident
entity in the country or place visited. A visitor (domestic, inbound or outbound) is classified as a tourist (or
overnight visitor), if his/her trip includes an overnight stay, or as a same-day visitor (or excursionist)
otherwise”.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar